cerpensik (cerita pendek asik) #2


Just Say It...


Terjual. Sebuah papan bertuliskan kata itu nampak di depan sebuah rumah. Sebuah rumah dengan cat berwarna dominan krem, tanpa pagar, hanya dipisahkan dari jalan oleh sebuah halaman hijau yang tidak begitu. Rumah yang terbilang sederhana namun tampaknya nyaman untuk ditinggali. Terdapat sebuah mobil yang terparkir di dalam garasi rumah tersebut dengan mesin yang masih menyala, sepertinya akan segera dipakai untuk bepergian lagi.

Terlihat orang-orang yang wira-wiri kesana kemari, sibuk, mungkin sedang beres-beres. Mereka penghuni baru dari rumah itu. Sebuah keluarga kecil, dan tampak bahagia, terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak tunggal, anak lelaki, bernama Aga.


***


Aga, pemuda berusia 17 tahun, baru saja lulus SMA, suka musik, ceria dan penuh tawa. Hal itu seakan menutupi sebuah penderitaan yang sebenarnya dialaminya. Kanker di dalam tubuhnya, dapat mengambil nyawanya kapan saja. Karena penyakit ini juga yang membuat keluarga kecil ini pindah ke sebuah tempat baru, tempat yang lebih dekat dengan rumah sakit tempat Aga biasa kontrol dan berobat.

Masa SMA, masa terindahnya. Teman-teman yang selalu ada di sampingnya, selalu mendukungnya, dan selalu tersenyum untuknya, membuat dia lupa akan penyakit mematikan yang dideritanya sendiri.

Aga jarang berpergian, sangat jarang, tentu karena kanker itu. Sehari-hari, selain sekolah, dia di rumah, dirawat dan dijaga oleh kedua orangtuanya, terutama Ibu. Jika ingin keluar rumah, dia harus meminta izin dari Ibu, dan seringkali Ibu tidak mengizinkannya, jadi dia tidak begitu tahu kehidupan di luar rumahnya, selain di sekolah, sampai akhirnya harus pindah ke rumah baru.


***


Suatu sore.

Aga bosan dengan acara televisi yang ditontonnya dari siang tadi. Dia ingin keluar rumah, dia ingin tahu daerah baru tempat dia tinggal sekarang. Dia menemui Ibu di dapur.

Dia memohon untuk bisa berjalan-jalan keluar rumah kepada Ibu. Pada awalnya Ibu menolak, namun setelah Aga terus memohon, akhirnya Ibu mengizinkannya. Ibu merintih dalam hati, mungkin hidup Aga tinggal sebentar lagi, tidak ada salahnya untuk mengizinkannya melakukan apa yang dia suka sebelum dia tidak lagi dapat melakukan hal itu.

Sore itu juga Aga keluar rumah dan berkeliling di sekitar rumahnya. Tidak jauh, dia sampai di sebuah gang yang tidak begitu kecil, dan sepanjang gang itu di kanan kirinya terdapat toko-toko kecil. Ramai. Tampaknya gang ini adalah pusat perbelanjaan di daerah ini.

Aga menyusuri gang itu. Dia senang, dia melihat keramaian, dia melihat orang-orang lalu lalang, dia melihat kehidupan di luar rumahnya.

Dia mampir di sebuah toko kecil di pojokan gang tersebut. Sebuah toko kaset. Aga memutuskan untuk sekedar window-shopping.

Klinting...klinting...

Sebuah gantungan berbunyi ketika pintu dibuka.

Aga melihat bagian dalam sebuah toko kaset kecil, tampak nyaman, tertata rapi. Dia mengarah ke meja kasir. Dia melihat seorang perempuan, seumuran Aga. Bibirnya merah dan membentuk suatu senyuman yang indah. Dia menyapa Aga.

“Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?”

Aga terdiam.

Masih dengan senyumnya, perempuan itu berkata lagi,“Emmm, kenapa anda diam saja? Ada yang bisa saya bantu?”

“Ahh, iya, maaf maaf. Saya ingin melihat-lihat saja kok.”

Aga tampak malu, dia langsung memalingkan tatapannya dari perempuan itu, dan berjalan menuju rak-rak kaset. Aga tahu, dia suka dengan perempuan itu, perempuan yang ramah, dengan senyum yang manis. Dia suka dengan perempuan itu pada pandangan yang pertama.

Deg...deg...deg...

Aga mendengar detak jantungnya sendiri yang berdetak tak menentu. Dia bingung meskipun hatinya senang. Dia kemudian berjalan menuju pintu keluar, terlihat buru-buru. Perempuan itu sedikit heran melihat Aga yang cepat-cepat keluar.


***


Sore berikutnya.

Aga kembali ingin keluar rumah. Kali ini dia bisa jalan-jalan tanpa harus berkompromi dengan Ibu.

Aga ingin melihat kembali senyuman dari perempuan penjaga toko kaset itu, maka dia berjalan ke pusat perbelanjaan itu lagi.

Di luar toko kaset, Aga mengintip ke dalam toko itu dari luar. Dia melihat perempuan itu lagi, di meja kasir. Dia senang, dan kemudian dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam toko kaset itu.

Klinting...klinting...

“Ahh, anda lagi, mari silahkan. Ada yang bisa saya bantu?”

Aga terdiam melihat senyumannya lagi, dia benar-benar kagum hingga terkaku.

“Emm, hei. Kenapa anda selalu begitu?” perempuan itu bertanya.

“Maaf maaf. Saya hanya ingin membeli kaset kok, kemarin saya sudah lihat di rak itu”.

Aga segera berjalan ke arah rak kaset yang ditunjukya. Sebenarnya dia tidak ingin membeli apa-apa, namun dia panik, mau bagaimana lagi pikirnya. Aga mengambil sebuah kaset dari salah satu band favoritnya, Oasis, dan dia menuju ke meja kasir untuk membayarnya. Perempuan itu mengambil kasetnya, membawa ke belakang dan membungkusnya, lalu memberikannya kepada Aga. Aga membayarnya, dan segera keluar, lagi-lagi terlihat terburu-buru.

Aga bingung terhadap dirinya, dia ingin mengajak perempuan itu untuk sekedar pergi berdua. Dia ingin menikmati waktu bersama dengan perempuan yang disukainya. Tapi dia tidak cukup berani untuk mengatakannya.


***


Sore berikutnya dan tiap sore berikutnya.

Aga selalu jalan-jalan keluar rumah, dan tujuannya hanya satu. Ke toko kaset itu.

Tiap hari dia ke sana, membeli kaset, dengan tingkah yang sama, dengan keinginan yang sama, yaitu untuk melihat senyum terindah yang pernah dilihatnya selama ini. Tapi tetap, dia tidak bisa mengungkapkan apa isi hatinya kepada perempuan itu.

Ibu tahu tentang hal ini, karena Aga selalu bercerita kepada Ibu. Ibu hanya memberi saran, sebaiknya segera katakanlah apa yang menjadi isi hati Aga, karena Ibu tahu, Aga akan merasakan kelegaan dan kegembiraan yang tak terkira jika bisa mengutarakan perasaannya.

Aga masih takut. Dan hari-hari selanjutnya masih terus dia jalani seperti sebelumnya.


***


Suatu sore.

Klinting...klinting...

Aga datang kembali ke toko itu.

“Mari... Hari ini mau cari kaset apa lagi?”

“Emmm, bisa tolong carikan aku The Killers? Dari kemarin saya tidak melihatnya, saya ingin membeli itu”

“Ohh, The Killers? Tunggu sebentar ya”, masih dengan senyumannya, perempuan itu pun keluar dari meja kasirnya dan berjalan menuju ke dalam tokonya.

Saat itu, Aga pun meninggalkan sebuah catatan kecil yang berisi nomor teleponnya di atas meja kasir, lalu dengan segera dia meninggalkan toko itu.


***


Kringgg... Kringgg...

Telepon di rumah berbunyi. Ibu mengangkatnya, dan kemudian, Ibu menangis.

Ternyata perempuan itu yang menelepon. Ibu hanya bisa menjawab sambil menangis.

“Jadi kamu belum tahu? Aga baru saja meninggal kemarin sore”

Sambungan telepon itupun menjadi begitu tenang, kecuali hanya terdengar tangisan dari Ibu.


***


Hari-hari berikutnya.

Ibu masuk dan melihat kamar Aga. Ibu kembali sedih dan terngiang akan kenangan Aga. Ibu membuka sebuah kotak yang dia temukan di bawah tempat tidurnya. Di dalam kotak itu ternyata berisi begitu banyak kaset baru, yang belum terbuka, dari sekian banyak kaset itu, sama sekali belum ada yang terbuka.

Ibu membuka salah satu kaset itu. Sebuah kertas catatan kecil terjatuh. Ibu melihatnya dan membacanya.

Hai, aku Rina. Aku suka kamu, kamu cukup manis. Mau pergi bersama denganku suatu saat nanti??

Salam sayang, Rina.

Ibu membuka sebuah kaset dan satu lagi kaset yang lain. Lagi-lagi Ibu menemukannya catatan yang sama.

Hai, aku Rina. Aku suka kamu, kamu cukup manis. Mau pergi bersama denganku suatu saat nanti??

Salam sayang, Rina.


***


Love

It will be more worthy

if we can express it and share it

with someone that we caring of

1 komentar:

nona aiya mengatakan... / Senin, Januari 05, 2009 1:49:00 AM  

Love
It will be more worthy
if we can express it and share it
with someone that we caring of

sayangnya , bim . .
that would be the hardest thing to try right now . .
kayanya cuman tuhan yg bakalan tau , seberapaa sayang aku sama diaa . .

*curcol*